Sabtu, 02 Juli 2011

Perang Terhadap Islam

Ansyaad Mbai berharap intelijen bisa menangkap orang yang sedang ceramah bila isi ceramahnya dianggap mengancam negara.

Munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen tak secara tiba-tiba. Wacana menghidupkan kembali UU Subversif yang sangat fenomenal di masa rezim Soeharto sempat terdengar sebelumnya. Bersamaan dengan itu diwacanakan pula perlunya pemberlakuan semacam ISA-nya Malaysia dan Singapura.

Mengapa? Banyak kejadian teror dan berbagai konflik sosial terjadi. Sementara pencegahannya selalu gagal. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto menyebut, hukum yang ada sangat lemah dibandingkan nega-ra sahabat seperti Singapura dan Malaysia.

Ketika rapat kerja dengan Komisi I DPR Senin (4/4), teman SBY ini beralasan inilah yang menyebabkan institusi yang dipimpinnya tidak bisa bekerja secara optimal. ”Kalau kita diperkuat tentu kita dapat memberantas akar terorisme,” ujar Sutanto.

Penilaian yang sama dikemukakan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), Ansyaad Mbai. Menurutnya, Undang-Undang Intelijen sudah saatnya untuk dikuatkan agar apa yang menjadi harapan masyarakat dapat terwujud. “Hukum kita menyangkut penanganan terorisme masih terlalu lembek. Strategi kita penegakan hukum harus didukung kekuatan intelijen untuk bisa mencegah terorisme,” kata Ansyaad.

Menurutnya, sebelum aksi teror terjadi seharusnya peran intelijen yang bertugas mencegah berjalan terlebih dahulu. Sedangkan untuk mencegah itu, undang-undang sebagai payung hukum belum cukup mendukung. “Buktinya setiap terjadi Noordin M Top ceramah di Malaysia langsung ditangkap. Di sana setiap dia ceramah menyebarkan kebencian, di sana langsung ditangkap oleh intelijen. Ditangkap dan ditahan,” ujar Ansyaad.

Sutanto mengharapkan agar masyarakat tidak perlu kha-watir akan peristiwa yang pernah terjadi selama pemerintahan Orde Baru. Ia meyakinkan, pihaknya tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu. “Tidak akan kembali ke sana (Orba). Langkah BIN tidak boleh bertabrakan dengan UUD 1945,” tandas Sutanto.

Namun beberapa pihak tetap sangsi terhadap keinginan pemerintah tersebut. Adanya wewenang khusus untuk melakukan penangkapan, penanahan dan penyadapan telepon dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Intelijen mengindikasikan masih kuatnya paradigma Laksusda Kopkamtib (Pelaksana Khusus Daerah Komando Keamanan Ketertiban).

“Pemerintah ingin BIN diberi wewenang khusus seperti Laksusda Kopkamtib melakukan kegiatan intelijen pada warga negara sendiri,” ujar anggota Ko-misi I DPR RI Tjahjo Kumolo.

Ia menyebut, BIN belum siap menjadi intelijen kelas dunia yang modern dan canggih. Sekjen DPP PDIP ini menganggap BIN masih berkelas telik sandinya zaman dulu. ”Belum optimalnya melakukan deteksi perilaku negara lain yang dengki dan mengancam NKRI,"

Menurut Tjahjo, intelijen seharusnya terstruktur secara rapi. Ia melihat selama ini intelijen hanya melakukan pola operasional intelijen taktis semata dan gerakannya mempertemukan serta memolakan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bisa saling berhadapan dengan remote control yang digerakkan.

Berbagai kalangan khawa-tir UU Intelijen itu nantinya hanya menjadi alat politik pemerintah untuk bertindak secara semena-mena dalam rangka membungkam lawan politik pemerintah. Apalagi, dalam RUU itu tertera dengan sangat jelas bahwa intelijen adalah lembaga pemerintah, bukan lembaga negara.

Fokus Terorisme
Lahirnya RUU Intelijen tak bisa dilepaskan dari fenomena terorisme. Entah aksi terorisme itu rekayasa atau bukan, pemerintah menganggap UU Terorisme yang ada belum cukup sebagai payung hukum untuk menangani kasus tersebut. Keberadaan RUU Intelijen tersebut berperan menjadi penguat dan pendukung aturan UU terkait terorisme yang memang sudah ada yakni UU Nomor 15 Tahun 2003.

Terorisme yang semula hanya mengarah pada tindak kekerasan, akhir-akhir ini cakupannya diperluas dan digeneralisasi. Ansyaad Mbai dan Hendropriyono yang sering sekali dalam berbagai kesempatan menghubungkan antara terorisme dan upaya penegakan syariah Islam.

Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh simpatisan partai politik maupun masyarakat umum tak pernah dikatakan sebagai teror. Padahal korban dan dampaknya sama, bahkan jauh lebih besar.

Cukup berasalan bila ada yang menduga, RUU ini ditujukan secara khusus untuk mencegah bangkitnya Islam di Indonesia, paling tidak membendung arus Islamisasi atau yang sering disebut orang anti Islam sebagai radikalisasi. Melalui UU ini, gerakan Islam bisa diberangus atas nama stabilitas dan keamanan negara.

Menurut juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusan-to, itu sangat mungkin dilakukan. Caranya pun mudah. ”Bikin dulu opini bahwa pejuang syariah dan khilafah mengganggu atau mengancam keamanan nasional, karenanya mereka harus dianggap sebagai 'musuh dalam negeri'. Maka absahlah kalau mereka kemudian ditangkap. Canggih, kan?” katanya.

Ketua Lajnah Siasiyah DPP HTI Harist Abu Ulya meminta umat Islam mewaspadai upaya-upaya penguatan legal frame (regulasi) untuk dijadikan alat menggencet atau bahkan mengeliminasi Islam dan kaum Mus-limin melalui bendera “War on terrorism”. Mengapa? Sebab, sebagian pihak pemerintah sudah tidak lagi obyektif menyikapi persoalan terorisme di Indonesia. Ini sama persis dengan kejadian di zaman Orda Baru, Islam dianggap sebagai musuh negara dan disebut sebagai ekstrim kanan.

Akankah motif ini yang mendasari lahirnya RUU intelijen? Lihat saja![] humaidi
Pusaran Global War on Terrorism

Pasca tragedi WTC 11 September, Amerika Serikat menggelar program Global War on Terrorism (GWOT). Negara adidaya itu tidak sendiri. AS mengajak—dengan memaksa—negara lain untuk ikut serta di dalamnya. Yang tidak ikut dianggap melawan Amerika dan mendukung teroris.

Siapa sebenarnya teroris yang dimaksud? Jawabnya: Islam. Lihat saja pernyataan Presiden George W Bush—seperti dilansir BBC 16/09/2001, “This Crusade, this war on terrorism, is going to take a along time (Perang Salib ini, perang melawan terorisme, akan memakan waktu yang lama)”. Bush juga pernah mengatakan, ”Kaum militan percaya dengan mengontrol satu negara akan menggerakkan masa umat Muslim, dan memberikan kemampuan buat mereka untuk menggulingkan seluruh pemerintahan moderat di daerah tersebut dan mendirikan sebuah imperium Islam radikal yang terbentang dari Spanyol hingga ke Indonesia.”

Ada kekhawatiran besar di Barat yang kafir terhadap fenomena kebangkitan Islam baik di dunia Barat maupun Timur. Bagaimana pun arus Islam ini harus dibendung karena bisa membahayakan eksistensi Barat khususnya di dunia Islam.

Indonesia pun tak mau ketinggalan. Densus 88 dibentuk dengan bantuan dana dari Amerika dan Australia. UU Terorisme pun disusun. Setelah itu dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) yang banyak diisi oleh orang-orang Densus 88. Proyek deradikalisasi pun dilakukan. Tapi itu belum dianggap cukup. Mereka menginginkan satu lagi, UU Intelijen.

Tujuannya? Anda tahu sendiri.[] emje.

Sumber : www.mediaumat.com

Sabtu, 23 April 2011

‘BANGKITNYA INTELEKTUAL MUSLIM’


‘War on Terrorism’

9/11 merupakan momen masyarakat dunia mengingat aksi heroik pemuda muslim yang dengan berani berhasil menabrak gedung WTC yang kemudian meluluh lantahkan gedung yang berisi ribuan warga Amerika.
Begitulah kira-kira skenario yang sudah banyak diketahui oleh masyarakat dunia. Sungguh sebuah perdebatan yang sangat panjang ketika kita membicarakan dan mempertanyakan ‘ Benarkah para pemuda Muslim yang meluluh lantahkan gedung tersebut dan menghancurkannya?’ ataupun ‘ Benarkah Islam mengajarkan kekerasan?’. Tapi satu hal yang ingin saya sampaikan, orang-orang tertentu ingin menyesatkan opini tentang Islam, mereka ingin memberikan gambaran buruk tentang Islam, mereka tidak akan berhenti sampai Islam benar-benar hancur karenanya.
Masyarakat dunia benar-benar merasakan hal itu, khususnya mereka yang baru mengenal Islam, mereka yang sangat awam dengan Islam, bahkan tidak sedikit orang Islam sendiri yang terpengaruh dengan propaganda menyesatkan ini, mereka lantas mengambil seluruh apa yang digambarkan media tentang Islam, mereka lantas mencitrakan Islam menurut pandangan yang tidak berdasarkan objektivitas dan kebenaran. Mereka tidak melihat Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, mereka tidak melihat Islam sebagai agama yang dapat memecahkan seluruh problem kehidupan, bahkan mereka tidak melihat bahwa Islamlah satu-satunya agama yang dapat membebaskan dari hegemoni dan penjajahan kaum kufar yang dengan keagungannya Islam dapat membawa manusia dari kegelapan menuju terangnya kehidupan dunia dan akhirat.
Begitulah kira-kira gambaran tentang media yang sangat berbahaya, yang dapat membuat kebenaran menjadi salah, membuat yang haq menjadi bathil, membuat manusia menjadi tidak dapat mengenali hakikat kebenaran. Meskipun tidak dapat kita pungkiri bahwa tidak seluruhnya apa yang dihasilkan media itu buruk dan menyesatkan, tetapi harus kita katakan bahwa opini ataupun propaganda media mengenai Islam tidaklah sesuai dengan apa yang seharusnya mereka katakan. Banyak para pengamat yang memprediksikan bahwa Islam akan mendapat sentimen dan perlakuan buruk dari negeri-negeri dimana Islam menjadi minoritas, seperti Eropa, Australia dan Amerika. Memang hal itu terjadi, banyak kaum muslim yang mendapat perlakuan yang diskriminatif, mendapat perlakuan yang tidak adil dari para penguasa negeri kufar. Di Denmark, masyarakat Islam dilarang mendirikan menara masjid. Di Jerman, pemuda muslim dilarang untuk melakukan shalat. Di Perancis, akhwat tidak mendapat dispensasi ketika pelajaran berenang. Di Inggris, memakai burqa dilarang. Di Amerika banyak pamflet-pamflet yang berisi hinaan tentang Islam, bahkan aksi pembakaran al-Qur’an yang banyak menuai kontroversi, akhirnya tetap dilakukan dan banyak lagi perlakuan yang diskriminatif terhadap Islam.



Tapi disisi lain, ada fenomena yang seharusnya menjadi pelajaran bagi kaum muslim, sebuah hikmah yang khusus Allah sediakan bagi orang-orang yang berfikir, yang mampu menangkap terang benderangnya agama yang telah Allah ridhoi. Menurut sebuah survey, kaum muslim di Amerika mengalami kenaikan yang sangat pesat, bahkan menjadi Negara dengan perkembangan Islam yang paling cepat didunia. Mengapa hal ini bisa terjadi?? Bukankah Islam telah mendapat perlakuan yang buruk dan Islam dicitrakan sebagai agama yang mengajari kekerasan?? Mengapa Islam bisa tumbuh dengan pesat ditengah-tengah kehidupan Amerika yang menganut ideologi kapitalis-sekuler?? Jawabannya adalah karena rakyat Amerika mempunyai satu hal yang tidak dimiliki oleh masyarakat dunia umumnya, yaitu objektivitas. Hal ini dikarenakan latar belakang pendidikan mereka yang tinggi, sehingga ketika mereka mendapatkan sebuah opini, mereka tidak lantas mengambil opini yang mereka lihat, dengar ataupun mereka diskusikan, tetapi mereka lantas mencari referensi sendiri, sehingga mereka dapat menentukan sendiri informasi sebelumnya yang mereka dapatkan dari media. Implikasi lain dalam fenomena ini adalah larisnya al-Qur’an sebagai referensi yang paling banyak dicari dan menjadi best seller di Amerika.
Oleh karena itu, rakyat Amerika melihat sudut pandang Islam dari sudut pandang yang benar, karena ketika pemikiran dan pandangan manusia dituntun oleh akalnya, maka taufik dan hidayah akan Allah hujamkan bagi orang-orang yang memang tujuannya mencari kebenaran, bukan untuk kepentingan apapun selain kebenaran. Inilah hikmah yang dapat kita pelajari dari rakyat Amerika, ketika sebuah opini terlontar melalui media, maka tidak sepantasnya kita menelan bulat-bulat apa yang dikatakan oleh media, karena media bukanlah standar kebenaran, media bukanlah kitab suci yang dijadikan standar bagi baik atau buruknya sesuatu. Sebenarnya ini bukanlah hal baru dalam pendidikan dan kode etik umat Islam, karena jauh berabad-abad lamanya, umat Islam sudah dididik bagaimana mereka memproses informasi yang mereka dapatkan. Bahkan didalam sebuah hadist dikatakan bahwa umat Islam ketika mendapatkan informasi atau kabar dari seorang munafik sekalipun, selama hal yang disampaikan adalah kebenaran, maka haram hukumnya menolak perkara tersebut. Atau sebuah nasihat dari sahabat nabi Muhammad SAW, Ali RA, ia berkata” dengarlah apa yang disampaikan, dan jangan melihat siapa yang menyampaikan”. Hal ini mengisyaratkan, bahwa objektivitas adalah sebuah sikap yang harus dimiliki oleh umat Islam khususnya. Karena itu, keberanian untuk menimbang-nimbang sesuatu menurut akal pikiran yang terbebas dari segala kesalahan.




Wallahu a’lam bi ashsawab.

Ditulis Oleh : Mustafa ALi